Minggu, 29 April 2012

HUBUBUNGAN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN DAN MODEL KURIKULUM PENJAS

MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI 
1. Model Pembelajaran 
a. Hubungan kurikulum dan pembelajaran 
   Perbedaan antara kurikulum, pembelajaran, dan hubungan dari keduanya merupakan permasalahan yang cukup banyak diperbincangkan. Namun pada umumnya para ahli lebih senang menyederhanakan perbedaan definisi kurikulum dan pembelajaran dengan menggunakan istilah “apa” dan “bagaimana”. Kurikulum lebih menekankan pada “apa” yang diajarkan, sementara pembelajaran lebih banyak menekankan pada “bagaimana” mengajarkannya. Untuk itu kurikulum lebih banyak berisikan pembahasan tentang “program, perencanaan, isi, dan pengalaman belajar. Sementara itu pembelajaran lebih banyak berisikan pembahasan tentang ”interaksi” pembelajaran termasuk: metode, gaya mengajar, strategi, implementasi, dan penampilan mengajar” 
  Apabila dilihat berdasarkan hubungan dari keduanya, Oliva. Peter F, (1992) mengemukakan bahwa hubungan kurikulum dan pembelajaran dapat dilihat berdasarkan empat katagori, yaitu dualistic model, interlocking model, concentric model, dan cyclical model.
  • Model Dualistic
Pada model dualistic, pelaksanaan proses belajar mengajar yang dikendalikan oleh guru tidak dikaitkan dengan perencanaan program kurikulum, walaupun mungkin sebenarnya berkaitan. Pembuat kurikulum mengabaikan para pengajar demikian juga para pengajar mengabaikan program kurikulum. Pada model dualistic ini, kurikulum dan proses pembelajaran mungkin berubah tanpa saling mempengaruhi satu sama lain secara singnifikan
  • Model interlocking
Pada model interlocking, kurikulum dan pembelajaran memiliki possisi yang sama. Keduanya saling mempengaruhi, pemisahan dari keduanya dianggap akan membahayakan. Keberhasilan pembelajaran dianggap dipengaruhi oleh perencanaan kurikulum yang baik, sebaliknya perencanaan kurikulum yang baik harus mempertimbangkan pembelajarannya
  • Model concentric
Pada model interlocking, kurikulum dan pembelajaran memiliki possisi yang sama. Keduanya saling mempengaruhi, pemisahan dari keduanya dianggap akan membahayakan. Keberhasilan pembelajaran dianggap dipengaruhi oleh perencanaan kurikulum yang baik, sebaliknya perencanaan kurikulum yang baik harus mempertimbangkan pembelajarannya
  • Model cyclical
Model Cyclical memanfaatkan pentingnya elemen feedback. Kurikulum dan pembelajaran dipisahkan dalam judul dan lingkupnya namun memanfaatkan feedbak dari keduanya untuk saling memperbaiki. Kurikulum secara terus menerus mempengaruhi pembelajaran, demikian juga sebaliknya: pembelajaran mempengaruhi kurikulum. Sirkulasi seperti ini terus mnerus berlangsung tanpa ada hentinya untuk saling memberikan feedbak dalam rangka penyempurnaan dari keduanya.

     Walaupun hubungan kurikulum dan pembelajaran dipandang secara berebeda-beda, namun diantara mereka terdapat beberapa pernyataan yang banyak disepakati (kecuali bagi penganut model dualistik), yaitu
1) Kurikulum dan pembelajaran merupakan sesuatu yang berhubungan namun berbeda
2) hubungan kurikulum dan pembelajaran saling memberi kontribusi dan saling mempengaruhi
3) Kurikulum dan pembelajaran dapat dipelajari dan dianalisis secara terpisah namun tidak bisa berfungsi secara terpisah

b. Model kurikulum Pembelajaran Pendidikan Jasmani 
   Berbeda dengan pendapat Joyce dkk., model pembelajaran dalam konteks pendidikan jasmani lebih banyak merujuk pada model interlocking, concentric, dan cyclical. Bahkan Hellison (1995) merasa ragu untuk mengatakan produknya sebagai sebuah model walaupun sudah memenuhi kriteria model dari model Joyce dkk. Alasannya karena istilah model yang dimaksud Joyce dkk., dianggapnya terlalu kaku dan dihawatirkan malah akan mengaburkan ide utama dari model yang dibuatnya. Demikian juga Siedentop (1995), ia lebih senang mengatakan produknya (model sport education) sebagai model kurikulum dan pembelajaran pendidikan jasmani Untuk itu, model pembelajaran (models of teaching) dalam konteks pendidikan jasmani lebih banyak berkembang berdasarkan orientasi dan model kurikulumnya dan bahkan nuansa kurikulumnya selalu terbawa-bawa pada model tersebut. Pembelajaran atau interaksi pembelajaran termasuk metode, gaya, strategi, dan evaluasinya akan secara otomatis beradaptasi sesuai dengan rujukan model kurikulumnya. Spesifikasi simbolik sering diberikan pada pengembangnya, content, dan atau peruntukannya., sedangkan kesamaannya cenderung menggunakan metodologi yang bervariasi dan berorientasi pada siswa. Untuk lebih jelasnya, berikut ini dipaparkan beberapa model dari sekian banyak model kuipembelajaran
a. Model Hellison
   Salah satu model pembelajaran pendidikan jasmani yang termasuk dalam katagori model rekonstruksi social adalah model Hellison, (1995), yang berjudul Teaching Responsibility Through Physical Activity. Pembelajaran pendidikan jasmani dalam model ini lebih menekankan pada kesejahteraan individu secara total, pendekatannya lebih berorientasi pada siswa, yaitu self-actualization dan social reconstruction. Steinhart mengatakannya sebagai model humanistic. Model pembelajaran pendidikan jasmani dari Hellison ini diberi nama level of affective development. Tujuan model Hellison ini adalah meningkatkan perkembangan personal dan responsibility siswa dari irresponsibility, self control, involvement, self direction dan caring melalui berbagai aktivitas pengalaman belajar gerak sesuai kurikulum yang berlaku. Hellison dalam bukunya ini mengungkap beberapa bukti keberhasilan modelnya dalam mengatasi masalah pribadi dan sosial siswa. Namun demikian Ia juga menyadari akan beberapa kritik yang dilontarkan terhadap modelnya ini misalnya produk social dan personal dari model ini walaupun penting namun tidak berhubungan secara spesifik dengan subjek mater pendidikan jasmani seperti keterampilan olahraga atau kebugaran tetapi bersifat umum berlaku juga pada pelajaran lain. 
   Model Helison ini sering digunakan untuk membina disiplin siswa (self-responsibility) untuk itu model ini sering digunakan pada sekolah-sekolah yang bermasalah dengan disiplin siswanya. Hellison mempunyai pandangan bahwa: perubahan perasaan, sikap, emosional, dan tanggung jawab sangat mungkin terjadi melalui penjas, namun tidak terjadi dengan sendirinya. Perubahan ini sangat mungkin terjadi manakala penjas direncanakan dan dicontohkan dengan baik dengan merefleksikan qualitas yang diinginkan. Potensi ini diperkuat oleh keyakinan Hellison bahwa siswa secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik dan penghargaan ekstrinsik adalah “counter productive”. Melalui model ini guru berharap bahwa siswa berpartisipasi dan menyenangi aktivitas untuk kepentingannya sendiri dan bukannya untuk mendapatkan penghargaan ekstrinsik. Fair play dalam penjas akan direfleksikan dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu pada dasarnya model Hellison ini dibuat untuk membantu siswa mengerti dan berlatih rasa tanggung jawab pribadi (self-responsibility) melalui pendidikan jasmani.
1) Tanggung Jawab Pribadi
    Rasa tanggung jawab pribadi yang dikembangkan dalam model ini terdiri dari lima tingkatan, yaitu level 0, 1, 2, 3, dan level 4. a) Level 0: Irresponsibility Pada level ini anak tidak mampu bertanggung jawab atas perilaku yang diperbuatnya dan biasanya anak suka mengganggu orang lain dengan mengejek, menekan orang lain, dan mengganggu orang lain secara fisik. Contoh lain misalnya: di rumah: menyalahkan orang lain di tempat bermain: memanggil nama jelek terhadap orang lain di kelas: berbicara dengan teman saat guru sedang menjelaskan dalam Penjas: mendorong orang lain pada saat mendapatkan peralatan olahraga. b) Level 1: Self-Control Pada level ini anak terlibat dalam aktivitas belajar tetapi sangat minim sekali. Anak didik akan melakukan apa-apa yang disuruh guru tanpa mengganggu yang lain. Anak didik nampak hanya melakukan aktivitas tanpa usaha yang sungguh-sungguh. Sebagai contoh misalnya: di rumah: menghindari dari gangguan atau pukulan dari saudaranya walaupun hal itu tidak disenanginya. di tempat bermain: berdiri dan melihat orang lain bermain di kelas: menunggu sampai datang waktu yang tepat untuk berbicara dengan temannya. dalam Penjas: berlatih tapi tidak terus-menerus. c) Level 2: Involvement Anak didik pada level ini secara aktif terlibat dalam belajar. Mereka bekerja keras, menghindari bentrokan dengan orang lain, dan secara sadar tertarik untuk belajar dan untuk meningkatkan kemampuannya. Sebagai contoh misalnya: di rumah: membantu mencuci dan membersihkan piring kotor di tempat bermain: bermain dengan yang lain di kelas: mendengarkan dan belajar sesuai dengan tugas yang diberikan dalam Penjas: mencoba sesuatu yang baru tanpa mengeluh dan mengatakan tidak bisa d) Level 3: Self-responsibility Pada level ini anak didik didorong untuk mulai bertanggung jawab atas belajarnya. Ini mengandung arti bahwa siswa belajar tanpa harus diawasi langsung oleh gurunya dan siswa mampu membuat keputusan secara independen tentang apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Pada level ini siswa sering disuruh membuat permainan atau urutan gerakan bersama temannya dalam suatu kelompok kecil. Kegiatan seperti ini sangat sulit dilakukan oleh siswa pada level sebelumnya. Mereka biasanya menghabiskan waktu untuk berargumentasi daripada untuk melakukan gerakan bersama-sama. Beberapa contoh perilaku siswa pada level tiga ini misalnya: di rumah: membersihkan ruangan tanpa ada yang menyuruh di tempat bermain: mengembalikan peralatan tanpa harus disuruh di kelas: belajar sesuatu yang bukan merupakan bagian dari tugas gurunya dalam Penjas: berusaha belajar keterampilan baru melalui berbagai sumber di luar pelajaran Pendidikan Jasmani dari sekolah. e) Level 4: Caring. Anak didik pada level ini tidak hanya bekerja sama dengan temannya, tetapi mereka tertarik ingin mendorong dan membantu temannya belajar. Anak didik pada level ini akan sadar dengan sendirinya menjadi sukarelawan (volunteer) misalnya menjadi partner teman yang tidak terkenal di kelas itu, tanpa harus disuruh oleh gurunya untuk melakukan itu. Beberapa contoh misalnya: di rumah: membantu memelihara dan menjaga binatang peliharaan atau bayi. di tempat bermain: menawarkan pada orang lain (bukan hanya pada temannya sendiri) untuk ikut sama-sama bermain. di kelas: membantu orang lain dalam memecahkan masalah-masalah pelajaran. dalam Penjas: antusias sekali untuk bekerja sama dengan siapa saja dalam Penjas. 2) Strategi pembelajaran
Terdapat tujuh strategi pembelajaran yang digunakan Hellison dalam mengajar tanggung jawab pribadi melalui penjas, yaitu,
a) Penyadaran (awarness)
b) Tindakan
c) Refleksi
d) Keputusan pribadi
e) Pertemuan kelompok
f) Konsultasi
g) Kualitas pengajar
Strategi penyadaran dan tindakan dimaksudkan untuk menyadarkan siswa tentang definisi tanggung jawab baik secara kognitif maupun dalam bentuk tindakan. Strategi refleksi dimaksudkan untuk membantu siswa mengevaluasi sendiri mengenai komitmen dan tandakan rasa tanggung jawabnya. Strategi keputusan pribadi dan pertemuan kelompok dimaksudkan untuk memberdayakan siswa secara langsung dalam membuat keputusan pribadi dan kelompoknya. Strategi konsultasi dan kualitas mengajar dimaksudkan untuk menyediakan beberapa struktur dan petunjuk bagi siswa untuk dapat berinteraksi mengenai kaulitas rasa tnggung jawab yang dikembangkannya. 3) Contoh Bentuk Latihan Levels of Affective Development Pembinaan rasa tanggung jawab melalui pendekatan model Hellison dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran Penjas dan berlangsung secara terus menerus semenjak awal hingga akhir tahun ajaran. Penjelasan tentang tingkat perkembangan rasa tanggung jawab pribadi yang terdiri dari lima tingkatan tersebut di atas terlebih dahulu harus diberikan yang selanjutnya diikuti oleh latihan-latihan. Beberapa contoh latihan dalam Levels of Affective Development sebagai berikut.
  • Pada kasus mengambil peralatan olahraga. Guru menanyakan dan menyuruh siswa tentang bagaimana perilaku seseorang pada level 0, level 1, 2, 3, dan 4 pada waktu mengambil peralatan itu.
  • Pada saat belajar keterampilan baru (new skill), siswa disuruh bekerja pada level yang paling baik. Selanjutnya guru memberikan penghargaan, pujian, atau pinpointing terhadap siswa yang bekerja lebih baik.
  • Pada saat siswa berperilaku menyimpang, siswa tersebut mendapat “time out” dan diberi tugas untuk memikirkan mengapa perilaku menyimpang adalah level 0. Selanjutnya setelah siswa tahu perilaku siswa pada level 1 atau level yang lebih tinggi serta cukup meyakinkan guru bahwa ia mampu berperilaku pada level yang lebih tinggi, maka gurunya mengijinkan siswa itu untuk kembali mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya.
  • Pada saat siswa mengeluh tentang perbuatan siswa yang lainnya, guru menyuruh anak yang mengeluh itu untuk mengidentifikasi pada level mana perbuatan siswa yang dikeluhkan tersebut serta bagaimana cara-cara bergaul dengan siswa yang dikeluhkan tersebut.
  • Pada kasus kerja kelompok. Sebelum melakukannya guru dan siswa mendiskusikan bagaimana perilaku siswa pada level 4 dalam bekerja sama pada sebuah group. Topik diskusi adalah bagaimana bekerja sama dengan siswa yang mempunyai level 0 dan level 1.
  • Evaluasi Levels of Affective Development Program evaluasi dalam model ini merupakan masalah tersendiri terutama bagi para guru yang belum terbiasa melakukan penilaian kualitatif. Selain penilaian yang berhubungan dengan keolahragaan dan pendidikan jasmaninya. Beberapa bentuk penilaian yang berhubungan dengan rasa tanggung jawab ini dan seringkali menjadi focus utama adalah sebagai berikut,
a) catatan harian
b) observasi
c) refleksi siswa
d) tes pengetahuan rasa tanggung jawab
e) wawancara dengan orang lain

b. Model Canter’s Asertif
   Selain model Hellison sebagaimana tersebut di atas, terdapat model lain dalam pendidikan jasmani yang sering digunakan secara terintegrasi untuk mengembangkan disiplin siswa dengan strategi yang relative sama, yaitu model disiplin assertif. Model ini dikembangkan oleh Canter (1976). Ia membuat model pembinaan disiplin dengan nama Canter’s Assertive Discipline. Perbedaan model yang dikembangkan oleh Hellison dan Canter terutama terletak pada motivasi yang dijadikan landasan untuk mengembangkan didiplin siswa. Model Hellison lebih menekankan pada motivasi intrinsic yang dilandasi pada keyakinan bahwa: siswa secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik dan penghargaan ekstrinsik adalah “counter productive”. Sementara itu, model Canter lebih menekankan pada motivasi ekstrinsik, seperti penghargaan, pujian, dan dorongan, termasuk konsekuensi.
1) Model ini didasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut:
  •  Semua siswa dapat berperilaku baik
  • Pengawasan yang ketat atau kokoh akan tetapi tidak pasif dan tidak menakutkan adalah layak untuk diberikan.
  • Harapan atau keinginan guru yang rasional mengenai perbuatan siswa yang sesuai dengan perkembangannya (seperti dibuat dalam peraturan) harus diberitahukan kepada siswa.
  • Guru harus mengharapkan siswa berperilaku secara layak dan pantas namun harus mendapat dukungan dari orang tua siswa, guru lain, dan kepala sekolah.
  • Tingkahlaku siswa yang baik harus segera didukung atau dihargai sementara tingkahlaku yang tidak baik harus mendapat konsekuensi yang logis.
  • Konsekuensi logis akibat penyimpangan perilaku harus ditetapkan dan disampaikan kepada siswa.
  • Konsekuensi harus dilaksanakan secara konsisten tanpa bias.
  • Komunikasi verbal dan non verbal harus disampaikan dengan kontak mata antara guru dan siswa.
  • Guru harus melatih keinginan-keinginan atau harapkan-harapan dan konsekuensi secara mental dengan konsisten kepada siswa.
2) Contoh harapan yang dituangkan dalam bentuk peraturan dikembangkan di Riverside Elementary School oleh Bell (1995).
  • menghargai orang lain (respect for others)
  • bermain jujur (play fair)
  • bermain dengan tidak membahayakan (play safely)
  • lakukan yang terbaik (do your best)
  • ikuti petunjuk guru (follow directions)
3) Contoh konsekuensi (Hill, 1990) sebagai berikut:
  • peringatan
  • time-out 5 menit
  • time-out 10 menit
  • memanggil orang tua siswa
  • mengirim siswa ke kepala sekolah
4) Ciri Keberhasilan Model Hellison dan Canter Assertive. Pertanyaan yang sering muncul dilontarkan oleh para pendidik Penjas adalah model mana yang paling efektif digunakan? Apakah model yang didasarkan pada motivasi ekstrinsik (assertive discipline) atau motivasi instrinsik (levels of affective development)? Pertanyaan ini agak sulit dijawab karena nampaknya keberhasilan pembinaan disiplin bukan terletak pada jenis model yang digunakan akan tetapi terletak pada bagaimana karakteristik model yang digunakan tersebut. Paling tidak ada empat karakteristik model pembinaan disiplin yang dapat dikatakan berhasil, yaitu sebagai berikut:
a) Siswa betul-betul memahami dan mengerti pelaksanaan sistem pembinaan disiplin berikut alasan-alasan mengapa pembinaan disiplin perlu diterapkan. Oleh karena itu hendaknya sistem pembinaan disiplin dijelaskan secara teliti dan hati-hati kepada siswa. Selanjutnya diikuti oleh contoh-contoh yang jelas dan latihan-latihan secara memadai yang dimulai dari setiap awal tahun ajaran. Sehingga siswa akan mengerti mengapa pembinaan disiplin sangat penting dan siswa juga mengerti bagaimana pembinaan disiplin itu diterapkan.
b) Guru secara konsisten menerapkannya. Sekali kegiatan rutin dan peraturan diterapkan, maka guru harus terus menerapkan dan menggunakan standar yang sama dari hari ke hari, sehingga siswa akan mengerti dan memahami betul apa-apa yang sebenarnya diharapkan (expectations) oleh gurunya. Hal ini sangat mudah dikatakan tetapi sangat sulit diterapkannya. Guru lebih cenderung menerapkan sistem pembinaan disiplin ini hanya pada awal-awal pertemuan saja. Misal: pada awal-awal pertemuan, pada saat guru bilang “stop”, semua siswa meletakkan bola yang dipegangnya. Namun demikian, setelah beberapa pertemuan, seorang siswa tidak meletakkan bola setelah gurunya bilang “stop” dan guru mengabaikannya. Dalam contoh itu, guru kurang konsisten dalam menerapkan sistem pembinaan disiplin. Secara bertahap, bagaimanapun, hal ini menjadi bertambah banyak: dua siswa, tiga siswa, enam siswa yang akhirnya pembinaan disiplin mejadi pudar kembali.
c) Sistem pembinaan disiplin itu didukung oleh kepala sekolah dan guru kelas. Pada saat tertentu mungkin guru Penjas akan menemukan siswa yang tidak disiplin; siswa tidak mau menerapkan peraturan dan penghargaan maupun “time out” tidak berpengaruh terhadap disiplin siswa tersebut. Dalam kesempatan itu, guru Penjas memerlukan bantuan kepala sekolah dan guru kelas. Mereka mungkin menyadari dan mengetahui mengapa siswa berbuat seperti itu dan bagaimana strategi yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah itu. Oleh karena itu maka salah satu konsekuensi bagi siswa yang berperilaku menyimpang adalah harus berhadapan dengan kepala sekolah yang mungkin akan dapat membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh guru Penjas.
d) Sistem pembinaan disiplin itu harus didukung oleh orang tua siswa. Seperti halnya bantuan kepala sekolah dan guru kelas, manakala orang tua siswa mengetahui dan mendukung sistem pembinaan disiplin yang digunakan oleh guru Penjas, maka orang tua siswa akan cenderung mau membantu guru Penjas dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi siswa dari orang tua tersebut.
5) Menghadapi Kenyataan Pembahasan dalam uraian sebelumnya lebih banyak menyoroti bagaimana mengurangi masalah disiplin siswa. Namun demikian, kebanyakan guru, bahkan dalam situasi yang ideal sekalipun, mungkin harus merasakan dirinya terpaksa menerima kenyataan mendapatkan seorang atau beberapa siswa yang kurang disiplin. Sudah barang tentu hal ini akan menimbulkan perasaan marah atau menyakitkan bagi gurunya. Sehubungan dengan itu ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh para guru untuk mengurangi rasa kecewa atau marah tersebut sehingga bisa menguntungkan baik bagi guru maupun siswanya:
a) Mencoba menyadari bahwa perilaku menyimpang bukan sifat perorangan: semua orang dalam kondisi tertentu bisa saja berbuat hal yang sama. Untuk itu cobalah untuk tidak marah atau menyesal: ambilah nafas dalam-dalam dan selanjutnya perlakukan anak tersebut sebagaimana mestinya.
b) Lakukan pendekatan secara pribadi. Dari pada guru berteriak-teriak memarahi siswa yang tidak disiplin dari kejauhan sementara siswa yang lainnya menonton dan mendengarkan kejadian tersebut, maka lebih baik guru melakukan pendekatan secara pribadi. Dekati siswa yang kurang disiplin tersebut, panggil ke pinggir lapangan, dan lakukan interaksi singkat sehingga siswa lain tidak mengetahuinya dan tetap melakukan aktivitas belajar sebagaimana mestinya. Kalau pilihan yang ke dua itu sering dilakukan oleh gurunya, maka bukan hal yang mustahil siswa akan mempunyai pikiran yang positif terhadap lingkungan belajar Penjas yang diperolehnya di sekolah.
c) Penjelasan kepada siswa. Gunakan nama siswa untuk memanggil siswa itu, jelaskan kepada siswa peraturan yang dilanggar secara perlahan dan menyakinkan dan berilah kesempatan untuk berpikir. Beri kesempatan untuk megemukakan pendapatnya, perhatikan pendapat siswa dengan penuh perhatian dan peghargaan, dan berusaha untuk mengerti apa maksudnya. Setelah selesai interaksi, guru menyimpulkan sambil memberitahu konsequensi yang harus dilakukan akibat penyimpangan perilaku yang diperbuatnya.
d) Usahakan jangan pernah marah kepada siswa dalam situasi dan kondisi apapun. Interaksi yang tenang dan perlahan jauh lebih efektif daripada marah. Bahkan meskipun siswa secara jelas melakukan perilaku menyimpang, guru harus menjaga harga dirinya. Siswa yang sakit hati, marah, atau frustasi karena melakukan kesalahan, harus disadarkan oleh gurunya bahwa apa yang dilakukannya itu adalah pelanggaran terhadap peraturan, namun hal itu wajar saja apabila dilakukan secara tidak sadar atau lupa.
c. Model Sport Education
Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewett dan Bain 1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini bersumber pada Subject Mater, dengan berorientasi pada nilai Disciplinary Mastery, dan merujuk pada model kurikulum Sport Socialization. Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul “Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education”. Beliau mengatakan bahwa bukunya merupakan model kurikulum dan pembelajaran penjas. Inspirasi yang melandasi munculnya model ini terkait dengan kenyataan bahwa olahraga merupakan salah materi penjas yang banyak digunakan oleh para guru penjas dan siswapun senang melakukannya, namun di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks penjas tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sering terabaikan. Para guru lebih senang mengajarkan teknik-tkenik olahraga dan permainan, diikuti oleh peraturan-peraturan dan bermain dengan menggunakan permainan yang sebenarnya seperti untuk orang dewasa atau untuk orang yang sudah mahir.
Hal ini dianggapnya tidak sesuai dengan konsep “developmentally appropriate practices”. Bhakan dalam kenyataannyapun, untuk sebagian besar siswa cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum memadai. Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh para guru penjas
1) Karakteristik Model Sport Education Enam karakteristik model sport education yang seringkali absen dari pembelajaran pendidikan jasmani pada umumnya adalah: musim, anggota team, pertandingan formal, puncak pertandingan, catatan hasil, perayaan hasil kompetisi.
a) Musim (season) merupakan salah satu karakteristik dari model sport education yang di dalamnya terdiri dari musim latihan dan kompetisi serta seringkali diakhiri dengan puncak kompetisi. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya karakteristik ini jarang diperhatikan.
b) Anggota team merupakan karakteristik kedua dari model sport education. Semua siswa harus menjadi salah satu anggota dari team olahraga dan akan tetap sebagai anggota sampai satu musim selesai. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya anggota tim berubah-ubah dari satu pertemuan ke pertemuan yang lainnya.
c) Kompetisi formal merupakan karakteristik ke tiga dari model sport education. Kompetisi dalam model ini mengandung tiga arti, yaitu: festival, usaha meraih kompetensi, dan mengikuti pertandingan pada level yang berurutan. pertama. Kompetisi formal dilakukan secara berselang-selang dengan latihan dan format yang berbeda-beda: misal dua lawan dua, tiga lawan tigas dan seterusnya hingga pada tingkatan yang sesuai dengan kemampuan siswa. Penjadwalan ditetapkan dari sejak awal pembelajaran pendidikan jasmani sehingga siswa mengetahui waktunya secara pasti dan dari sejak kapan mereka harus mempersiapkan diri.
d) Puncak pertandingan merupakan ciri khas dari even olahraga untuk mencari siapa yang terbaik pada musim itu, dan ciri khas ini dijadikan karakteristik ke empat dari model sport education. Dalam pendidikan jasmani pada umumnya, pertandingan seperti ini sering dilakukan, namun setiap siswa belum tentu masuk anggota team sehingga terkadang lepas dari konteksnya.
e) Catatan hasil merupakan karakteristik ke lima dari model sport education. Catatan ini dilakukan dalam berbagai bentuk, dari mulai dai catatan masuk goal, tendangan ke goal, curang, kesalahan-kesalahan, dan sebagainya disesuaikan dengan kemampuan siswa. Catatan ini dilakukan siswa dan guru untuk dijadikan feedback baik bagi individu maupun team.
f) Perayaan hasil kompetisi merupakan karakteristik ke enam dari model sport education. Perayaan hasil kompetisi seperti upacaya penyerahan medali berguna untuk meningkatkan makna dari partisipasi dan merupakan aspek sosial dari pengalaman yang dilakukan siswa.
Keenam karakteristik model sport education ini oleh Siedentop dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa pendidikan jasmani pada umumnya tidak lengkap dalam mengajar siswa melalui olahraga. 2) Perbedaan Sport Education dan Sport (Olahraga) Perbedaan yang mencolok antara sport education dengan sport (olahraga) adalah: persyaratan partisipasi (participation requirements), keterlibatan yang sesuai dengan perkembangan siswa (developmentally appropriate involvement), dan peran yang lebih beragam (more diverse roles).
a) Persyaratan partisipasi (participation requirements). Sport education menuntut adanya partisipasi penuh dari semua siswa pada semua musim. Tuntutan ini akan mempengaruhi pertimbangan dalam memilih jenis olahraga, jumlah team dan angggota pada masing-masing team, dan karakteristik kompetisi yang dilakukannya.
(1) System gugur sedapat mungkin dihindari.
(2) Jumlah anggota team yang terlalu banyak juga harus dihindari sebab permainan cenderung akan didomonasi oleh siswa yang sudah terampil.
(3) Puncak pertandingan harus merupakan even untuk semua siswa tidak hanya untuk siswa atau team yang paling baik
(4) Semua siswa (tidak hanya yang berbakat) mendapat kesempatan yang sama pada semua peran baik sebagai pemain, wasit, pemimpin, dan anggota team.
b) Keterlibatan yang sesuai dengan perkembangannya (developmentally appropriate involvement). Bentuk olahraga yang digunakan dalam sport education harus sesuai dengan pengalaman dan kemampuan siswa. Bahkan Siedentop menganggap bahwa semua olahraga formal secara penuh tidak cocok diberikan pada siswa dalam konteks sport education. Semua olahraga harus diberikan secara bertahap dan dimodifikasi namun menyeluruh pada ke enam karakteristik sport education tersebut di atas. Modifikasi dapat dilakukan dari jumlah anggota team misal 1 lawan satu hingga pada jumlah yang sesuai dengan kemampuan siswa, dari alat yang digunakan, demikian juga peraturannya dari mulai bisa mengatakan masuk atau ke luar hingga pada peraturan yang sesuai dengan kemampuan siswa untuk dapat diterapkannya.
c) Peran yang lebih beragam (more diverse roles). Model sport education menuntut siswa memainkan banyak peran daripada olahraga pada umumnya yang hanya berperan sebagai pemain. Dalam model sport education, selain belajar berperan sebagai pemain, siswa juga belajar sebagai pelatih, wasit, dan pencatat skor. Pada kasus model tertentu, siswa belajar sebagai manager, instruktur, penyiar, dan penulis berita olahraga. Untuk itu model ini dapat juga mengembangkan karir siswa dalam bidang profesi olahraga.
3) Strategi mengajar Fair Play
Tujuan utama dari model sport education adalah mengembangkan siswa menjadi olahragawan yang baik yang mengandung arti selalu menjunjung tinggi nilai-nilai olahraga dan selalu menerapkan prinsip fair play baik pada saat sebagai pemain, sebagai wasit, maupun sebagai penonton. Dengan model ini siswa diharapkan menyadari bahwa kemenangan tidak mengandung arti apa-apa kecuali diperoleh melalui permainan yang fair play dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai olahraga. Untuk itu pengarahan, latihan, dan feedback harus diberikan terhadap nilai-nilai ini sebagai mana diberikan terhadap keterampilan gerak dan strategi bermain. Beberapa strategi untuk mengembangkan nilai-nilai fari play antara lain adalah sebagai berikut.
a) Penjelasan perilaku fair play disampaikan dan dipahami oleh semua siswa
b) Membuat dan menggunakan system promosi dan penghargaan terhadap perilaku fair play.
c) Perilaku penonton yang baik perlu diajarkan dan dikembangkan
d) Gunakan sistem seleksi anggota team hingga setiap siswa memiliki kesempatan belajar yang sama
e) Kembangkan perkumpulan olahraga-olahraga tertentu pada tingkat kelas dan sekolah sebagai tempat diskusi memecahkan berbagai masalah bagi siswa
f) Kembangkan suatu penghargaan terhadap perilaku fair play yang sama pentingnya dengan penghargaan terhadap para pemenang pertandingan
g) Ajarkan dan beri penghargaan bagi mereka yang melakukan ritual nilai-nilai olahraga (misal bersalaman setelah bertanding).
4) Program Pembelajaran
a) Materi pembelajaran di sesuaikan dengan materi yang tersedia dalam kurikulum
b) Jumlah pertemuan disesuaikan dengan waktu yang tersedia dalam kurikulum
c) Alokasi waktu yang tersedia perminggu dapat dibagi menjadi dua atau tiga pertemuan sesuai kebutuhan dengan konsekuensi waktu per-pertemuan makin sedikit
d) Catatan rata-rata waktu per-pertemuan yang menggunakan model ini antara 35 ssampai dengan 60 menit.
e) Catatan rata-rata jumlah pertemuan per catur wulan yang menggunakan model ini antara delapan sampai dengan 20 pertemuan.
5) Program Evaluasi Program evaluasi dalam model ini merupakan masalah tersendiri terutama bagi para guru yang belum terbiasa melakukan penilaian kualitatif. Selain penilaian yang berhubungan dengan keolahragaan dan pendidikan jasmaninya. Beberapa bentuk penilaian yang berhubungan dengan fair play diperoleh melalui,
a) catatan harian
b) observasi
c) refleksi siswa
d) tes pengetahuan fair play
 
d. Model Kebugaran (Health-Related Fitness Models)
    Salah satu literatur yang banyak membahas tentang pendidikan Jasmani orientasi model kebugaran adalah Physical Education for Lifelong Fitness (AAHPERD). Buku ini mendeskripsikan model pembelajaran pendidikan jasmani dari perspektif health-related fitness education (steinhard, 1992). Model ini memiliki pandangan bahwa generasi penerus dapat membangun tubuh yang sehat dan memiliki gaya hidup aktif dengan cara melakukan aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-harinya. Namun kenyataan tersebut tidak mungkin dicapai tanpa adanya usaha karena sebagian besar generasi penerus tidak memiliki kebiasaan hidup aktif secara teratur, dan aktivitas fisik menurun secara drastic setelah dewasa. Untuk itu, program penjas di sekolah harus membantu generasi penerus untuk tetap aktif sepanjang hidupnya. Kesempatan membantu generasi penerus untuk tetap aktif sepanjang hidupnya menurut model ini masih tetap terbuka sepanjang merujuk pada alasan individu melakukan aktivitas fisik. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik adalah 1, aktivitas fisik meyenangkan, 2, dapat dilakukan rame-rame, 3, dapat meningkatkan keterampilan, 4, dapat memelihara bentuk tubuh, dan 5, nampak lebih baik. Beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik tersebut harus menjadi dasar dalam menerapkan model kebugaran ini. 1) Dasar penerapan model meliputi:
a) menekankan pada partisipasi yang menyenangkan pada kegiatan-kegiatan yang mudah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
b) menyediakan kegiatan-kegiatan kompetitif dan non-kompetitif dengan rentang yang bervariasi sesuai dengan tuntutan perbedaan kemampuan siswa
c) memberikan keterampilan (skill) dan keyakinan (confidence) yang diperlukan siswa agar dapat berpartisipasi aktif secara fisik.
d) melakukan promosi aktivitas fisik/olahraga pada seluruh komponen program sekolah dan mengembangkan hubungan antara program sekolah dan program masyarakat.
Dengan menggunakan menggunakan dasar penerapan di atas, model ini diharapkan dapat mengembangkan skill, kebugaran jasmani, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang dapat menggiring siswa memiliki gaya hidup aktif dan sehat (actif-healthy lifestyles). Model pembelajaran ini berkeyakinan bahwa keberhasilan pendidikan jasmani berawal dari tertanamnya kesenangan siswa terhadap berbagai aktivitas fisik. Oleh karena itu, berbagai pembekalan seperti skill, kebugaran jasmani, sikap, pengetahuan, dan perilaku sehari-hari harus selalu berorientasi pada kesenangan dan keyakinan individu dalam rangka pembentukan gaya hidup aktif yang sehat di masa yang akan datang. 2) Karakteristik Model kebugaran ini pada dasarnya merupakan subject oriented model yang berlandaskan pada disciplinary mastery value orientation, namun pada perkembangan sekarang ini, model ini seringkali merefleksikan orientasi nilai self-actualization atau ecological integration. Sehingga beberapa program dari model ini merupakan mengintegrasi pendidikan jasmani dalam kerangka konsep healthy lifestyle yang lebih luas dengan komponen-komponen sosio-cultural (Jewett, dkk., 1995). Peranan guru dalam penerapan model ini lebih menekankan untuk membimbing siswa pada program kegiatan kesegaran jasmani, mengajar keterampilan dalam pengelolaan dan pembuatan keputusan, menanamkan komitmen terhadap gaya hidup yang aktif, dan mengadministrasi program asesmen kesegaran jasmani individu siswa. Mengingat kritik yang mengatakan bahwa ruang lingkup dari program ini sangat terbatas pada aktivitas kebugaran saja, maka program ini berisikan pengembangan berbagai variasi keterampilan dan pengalaman yang memungkinkan siswa dapat berpartisipasi dalam aneka ragam olahraga dan aktivitas fisik. 3) Isu pelaksanaan model kebugaran jasmani
Realisasi pendidikan jasmani model kebugaran jasmani seringkali tidak memperhatikan konsep-konsep yang terkait dengan kebugaran jasmani dan keterkaitan aktivitas fisik untuk meningkatkan status kebuggaran jasmani siswa. Anggapan kuat ciri khas model ini antara lain berisikan kegiatan seperti tes kesegaran jasmani, membandingkan status siswa dengan standar orang lain, membujuk siswa dengan istilah “no pain, no gain”, dan aktivitas fisik di luar DAP yang seakan-akan menyiksa siswa dan merendahkan siswa. Seakan-akan program ini dibuat untuk mempersiapkan siswa untuk menjadi anggota militer yang akan berperang terfokus pada “melatih” bukannya “mendidik” yang sebenarnya aspek mendidik ini jauh lebih penting untuk memelihara gaya hidup dan kesehatan pribadinya menghadapi era baru dan teknologi tinggi di masa depan. Apa yang diajarkan oleh para guru pendidikan jasmani di sekolah sekolah sekarang ini sangat mungkin menjadi faktor utama pembentuk kebiasaan (habit) dan sikap yang dapat dibawa sampai hari tua. Masalah-masalah yang terkait dengan program kebugaran jasmani dalam lingkup pendidikan jasmani memang sangat komfleks dan tidak bisa dipecahkan secara sederhana, namun dengan membiarkannya, masalah itu mungkin akan menjadi lebih serius lagi. 4) Program Kurikulum dan Pembelajaran yang dikembangkan
a) Jenis materi pelajaran disesuaikan dengan jenis mata pelajaran yang tercantum dalam kurikulum
b) Jumlah jam pelajaran wajib/intra perminggu sebagaimana tertera dalam kurikulum (misal 3 x 45 menit) selanjutnya dibagi ke dalam pertemuan-pertemuan yang jumlahnya di atur oleh sekolah.
c) Jumlah pertemuan penjas per minggu termasuk ekstra kurikuler biasanya minimal tiga sampai empat pertemuan.
d) Pemberian materi teori ditekankan agar disampaikan secara terintegrasi dalam bentuk praktek langsung
e) Pendekatan pembelajaran lebih cenderung menganut teori belajar konstruktivisme melalui pemberian berbagai pengalaman gerak yang dapat menggiring siswa ke arah pembentukan konsep yang diperlukan untuk penanaman, peningkatan, dan pemeliharaan kemampuan olahraga, fitness, dan gaya hidup aktif dan sehat
f) Orientasi pembelajaran terfokus pada sasaran program yang sudah ditetapkan pada produk program pada setiap tahun ajarannya

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar